Minggu, 22 November 2009

Peranan Hukum Tidak Tertulis

A.PENDAHULUAN
Indonesia dibangun oleh The founding fathers dengan obsesi negara yang mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga hal tersebut berdampak pada gagasan mengidealisasikan prinsip kekeluargaan, demokrasi desa, asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan demi politik pengintegrasian. Hal ini dilakukan bukan untuk suatu pembebasan melawan absolutisme kekuasaan sebagai corak paham konstitusionalismE,1 yang oleh Lord Acton disebut sebagai hukum batu “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula).
Idealisasi gagasan the founding fathers merupakan cita-cita bangsa yang akan diwujudkan oleh para pemimpin, namun idealisasi gagasan tersebut bukan merupakan sesuatu yang mudah dicapai. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967) maupun Presiden Soeharto (1967-1998), Indonesia telah terjebak sebagai negara kekuasaan (machtsstaat) daripada negara hukum (rechtsstaat), interprestasi konsitusi sesuai dengan selera pribadi sehingga legitimasi kekuasaan semakin kuat dan melemahkan sendi-sendi (hukum), termasuk hukum tata pemerintahan.
Bahkan tidak dapat dipungkiri, bahwa perilaku pejabat pemerintah atau organ negara sering bertentangan dengan hukum dan menjadi permasalahan dalam membangun dan mewujudkan cita-cita sebuah negara kesejahteraan, misalnya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, praktek-praktek tersebut merupakan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh organ Negara. Dalam teori hukum tata administrasi negara, bentuk perwujudan perbuatan yang sewenang-wenang ini ada lima kelompok, yakni2: perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige); perbuatan yang tidak tepat (onjuist); perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig); perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvioir).
Untuk mengantisipasi adanya perbuatan sewenang-wenang penguasa, tentunya dalam sebuah negara harus adanya ketentuan-ketentuan hukum tata pemerintahan sebagai penyelenggara Undang-undang Dasar 1945 dan pembangunan Indonesia. Namun pada intinya hukum tata pemerintahan ini bertujuan agar fungsi pemerintah sebagai penyelenggara negara (het bestuuren, het regeren) dalam berjalan secara baik (pemerintahan yang baik).
Tentunya pemerintahan yang baik sebagai salah satu tujuan adanya pengaturan tindakan pemerintah melalui hukum tata pemerintahan membutuhkan legitimasi hukum yang kuat, baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, seperti konvensi, norma (asas) hukum, hukum adat, hukum keagamaan, dan lainnya.3 Dalam hukum tata pemerintahan peranan hukum tidak tertulis memiliki ruang tersendiri dalam menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang diinginkan oleh konstitusi, norma hukum pemerintahan tidak tertulis dalam hukum pemerintahan dikembangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang memiliki peranan besar hukum tata pemerintahan, selain itu peranan hukum tidak tertulis berupa konvensi yang mengatur pelaksanaan discretionary power.4 Sedangkan hukum adat yang mempunyai nilai kearifan memberikan ruang dalam menciptakan suatu etika dalam penyelenggaraan negara.
Namun dalam hal ini, penulis menkaji beberapa hukum tidak tertulis yang mempunyai peranan penting dalam hukum tata pemerintahan, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik dan konvensi ketatanegaraan.

B.PEMBAHASAN
1.Landasan Teori
a.Hukum Tata Pemerintahan
Istilah pemerintah dan pemerintahan sering disepadankan dengan istilah asing administratie, administration, bestuur, regering, dan government, dalam bahasa Indonesia digunakan juga administrasi atau tata usaha negara, government (pemerintahan) berasal dari bahasa latin yaitu gobernaculum (kemudi)5.
Sedangkan hukum tata pemerintahan merupakan suatu aturan dalam melakukan pengujian hubungan hukum khusus yang diadakan agar memungkinkan para penguasa (ambtsdragers) melakukan tugas yang khusus. Sedangkan tugas hukum tata pemerintahan adalah mempelajari sifat peraturan hukum, bentuk-bentuk hukum, yang memuat turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomi dan juga dipelajari asas-asas hukum yang membimbing pemerintah tersebut.
b.Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan nilai etik yang hidup dan berkembang dalam pergaulan suatu masyarakat (living law), maka wajar kalau di antara para ahli hukum, beragam dalam menentukan macam dan pengelompokan asas asas tersebut. Menurut AM. Donner dan Wiarda sebagai perintis AAUPB telah memerinci AAUPB ke dalam 5 (lima) macam asas, yakni: asas kejujuran (fair play), asas kecermatan (zorgvuldigheid), asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk), asas keseimbangan (evenwichtigheid), dan asas kepastian hukum (rechts zekerheid).
Sementara menurut Muchsan,6 asas-asas umum pemerintahan yang baik terdiri dari:
a.asas kepastian hukum (principles of legal security atau rechtzekarheid beginsel);
b.asas keseimbangan (principle of proportionality atau evenregdigheid beginsel);
c.asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principles of equality atau gelijheid beginsel);
d.asas bertindak cermat (principles of carefulness atau zorgvuldigheid beginsel);
e.asas motivasi untuk setiap keputusan (principles of motivation atau motivering beginsel);
f.asas jangan mencampur adukan kewenangan (principles of non misuse of competence);
g.asas permainan yang layak (principles of fair play);
h.asas keadilan dan kewajaran (principles of ressonableness or prohibition or arbitratiness);
i.asas menanggapi penghargaan yang wajar (principles of meeting raised expectation);
j.asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principles of undoing the consequences of an annulled decision);
k.asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi (principles of protection the personal way of life)
l.asas kebijaksanaan (sapientia); dan
m.asas penyelengaraan kepentingan umum (principles of public service).

c.Konvensi
Menurut KC.Wheare, konvensi adalah kaidah-kaidah konstitusi yang non legal atau extra legal.7 Sementara menurut Dicey konvensi adalah:
1)Bagian dari kaidah ketatanegaraan yang tumbuh, diikuti, ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara
2)Bagian dari konstitusi yang tidak dapat ditegakan melalui pengadilan
3)Konvensi ditaati semata-mata didorong olehtuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan Negara
4)Ketentuan-ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya discretionary power dilaksanakan


2.Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Hukum Tata pemerintahan
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan salah satu norma hukum tidak tertulis, yang merupakan norma hukum pemerintahan yang memiliki peranan besar hukum tata pemerintahan. Dalam perkembangannya peranan asas-asas hukum pemerintahan yang baik dalam kajian hukum tata pemerintahan Indonesia merupakan filosofi yang dapat digali dan ditemukan dalam alenia ke-empat Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis dalam UUD 1945 ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik, yaitu: asas persamaan; asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; asas menghormati dan memberikan haknya setiap orang; asas ganti rugi karena kesalahan; asas kecermatan; asas kepastian hukum; asas kejujuran dan keterbukaan; asas larangan menyalahgunakan wewenang; asas larangan sewenang-wenang; asas kepercayaan atau pengharapan; asas motivasi; asas kepantasan atau kewajaran; asas pertanggungjawaban; asas kepekaan; asas penyelenggaraan kepentingan umum; asas kebijaksanaan; asas ithikad baik.8
Asas-asas ini mengalami perkembangan seiring kondisi politik hukum di Indonesia, Menurut SF. Marbun AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut ini:9
a.Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketantuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar, atau tidak jelas, selain itu sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen/ melakukan kebijakansanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian admnistrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultrasvires;
b.Bagi warga masyarakat sebagai pencari keadilan AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
c.Bagi Hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara;
d.Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislasi dalam merancang suatu undang-undang.
Untuk lebih detail, asas-asas umum pemerintahan yang baik dikemukakan dalam penjelasan dibawah ini: Asas kepastian hukum (principles of legal security atau rechtzekarheid beginsel), Asas keseimbangan (principle of proportionality atau evenregdigheid beginsel), Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principles of equality atau gelijheid beginsel), Asas bertindak cermat (principles of carefulness atau zorgvuldigheid beginsel), Asas motivasi untuk setiap keputusan (principles of motivation atau motivering beginsel), Asas jangan mencampur adukan kewenangan (principles of non misuse of competence), Asas permainan yang layak (principles of fair play), Asas keadilan dan kewajaran (principles of ressonableness or prohibition or arbitratiness), Asas kebijaksanaan (sapientia), Asas penyelengaraan kepentingan umum (principles of public service).10
Dalam perkembangannya asas-asas umum pemerintahan yang baik secara ekplisit dapat ditelusuri dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.5 Tahun 1986. Yang kemudian mengalami perkembangan setelah adanya Undang-undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Terhadap Undang-undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam Undang-undang No.9 Tahun 2004 penerapan AAUPB tersebut merujuk pada Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi “ alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik”. Dalam Penjelasan Undang-undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa AAUPB meliputi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Pada intinya peranan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai hukum tertulis adalah mewujudkan tujuan hukum tata pemerintahan dalam menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baik, suatu pemerintahan yang dijalankan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 baik secara harfiah maupun menurut jiwanya, semangatnya atau yang dikenal dengan Geistlichen Hintergrund atau sesuai dengan suasana kebatinan yaitu pemerintahan yang mampu mewujudkan persamaan kedudukan antara sesama warganegara dihadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, pemerintahan demokratis yang mampu mewujudkan kehidupan demokratis dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, mewujudkan keadilan dan prikemanusiaan serta mampu memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, jadi bukanlah suatu pemerintahan yang hanya mewujudkan kemakmuran ekonomi atau material saja atau bagi golongan tertentu saja.11

3.Peranan Konvensi ketatanegaraan Dalam Hukum Tata pemerintahan
Konvensi ketatanegaraan merupaka n salah satu hukum tidak tertulis yang mengatur tentang cara-cara pemegang kekuasasan menjalankan kekuasaaan, tetapi tidak tergolom kaidah hukum karena penataan penataan terhadap konvensi ketatanegaraan tidak dapat dituntut dan ditegaklan atau dipaksakan melalui pengadilan. Peranan hukum tidak tertulis dalam hukum tata pemerintahan adalah bagaimana suatu ketaatan terhadpa konvensi ketatanegaraan dapat tercipta dengan cara kesukarelaan atau karena dorongan etika atau akhlak atas dasar keyakinan, mentaati konvensi sebagai suatu kewajiban yang timbul dari tuntutan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan atau konvensi serng disebut sebagai etika ketatanegaraan atau akhlak ketatanegaraan (constitutional ethics atau constitutional morality). Walaupun ketaatan konvensi tidak dapat dilakukan melalui pengadilan, maka kaidah konvensi adalah legally non binding atau not legally enforceable. Namun peranan hukum tidak tertulis ini mempunyai kekuatan mengikat secara politik sebagai suatu etika atau moral (political binding), sehingga dalam kenyataannya kekuatan mengikat secara politis mendorong ketaatan dan kekuatan mengikat secara hukum. Misalnya, pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus, Pengesahan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, Pemilihan presiden dan Wakil Presiden, Agama yang dianut Presiden dan Wakil Presiden, konvensi dalam pembuatan perjanjian internasional.

C.PENUTUP
Peranan hukum tidak tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik dan konvensi ketatanegaraan memberikan ruang kajian tersendiri dalam hukum tata pemerintahan, yang pada intinya hukum tidak tertulis telah memberikan perkembangan hukum tata pemerintahan sehingga suatu hukum tata pemerintahan tersebut mampu menciptakan suatu sendi-sendi pemerintahan yang baik dalam menjalankan fungsinya.



DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 2004, Hukum positif Indonesia (Suatu KajianTeoritik), FH UII Press, Yogyakarta.

--------, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, FH UII Press, Yogyakarta.

Dimyati Hartono, 1997, Lima Langkah Membangun Pemerintahan Yang Baik, Ind. Hill Co, Jakarta.

Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) dilingkungan Peradilan administrasi di Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable Government”), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

---------, 1982, Seri Hukum Administrasi Negara dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.

Mukthie Fadjar, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang, 2003

SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.

KAJIAN YURIDIS YURISPRUDENSI SEBAGAI SUMBER HUKUM TATA PEMERINTAHAN FAKTUAL

A.PENDAHULUAN
Untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum diperlukan satu media atau institusi keadilan, yang dapat digunakan sebagai akses bagi masyarakat untuk mendapatkan rasa keadilan tersebut. Institusi keadilan dalam sistem hukum moderen dewasa ini, salah satunya diwujudkan dalam satu wadah yaitu badan pengadilan. Lembaga pengadilan ini pada masa peradaban hukum moderen,secara simbolik telah menjadi wujud dari pemberlakuan hukum dan keadilan secara nyata.
Sudikno Metrokusumo memberikan arti kepada kata “peradilan” sebagai berikut: “kata peradilan yang terdiri dari kata dasar “adil” dan mendapat awalan ‘per’ serta akhiran ‘an’ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pengadilan, pengadilan disini bukanlah diartikan semata mata sebagai badan yang mengadili melainkan sebagai pengertian yang abstrak yaitu, “hal memberikan keadilan”.1
Sementara menurut Rahmat Rochmat Soemitro2 “peradilan (rechtspraak) adalah proses penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan pengadilan menurut hukum…, pengadilan adalah cara mengadili atau usaha memberikan penyelesaian hukum dan dilakukan oleh badan pengadilan …, badan pengadilan ialah suatu badan, dewan, hakim atau instansi pemerintah yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hukum. Sedangkan Sjachran Basah3 memberikan pengertian yang lebih lugas, dikatakan: “…penggunaan istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau kepada wadah yang memberikan peradilan, sedang peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum atau het rechtspreken”.
Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara susunan horizontal dan vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai lingkungan badna peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan lainnya). Susunan vertikal adalah susunan tingkat pertama, banding dan kasasi. Kelembagaan peradilan sebelum amandemen UUD 1945 menganut satu cabang kekuasaan yang berpuncak pada Mahkamah Agung, namun setelah amandemen UUD 1945 menganut sistem bifurkasi (bifurcation system) dimana kekuasan kehakiman terbagi dalam dua cabang yaitu cabang peradilan biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
Kelembagaan peradilan ini merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sehingga pengadilan wajib memeriksa dan memutus perkara, pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan ketiadaan hukum atau hukumnya tidak jelas mengaturnya, apabila hakim dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak jelas, sedangkan perkara harus diselesaikan, hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat atau hakim dapat berpedoman pada putusan hakim yang terdahulu (yurisprudensi Mahmakah Agung), memperhatikan kewajiban hakim yang demikian itu, menunjukan bahwa hakim bukanlah corong undang-undang melainkan berperan menemukan hukum (rechtsvinding) atau membentuk hukum (rechtsvorming). Hal ini disebabkan karena yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan salah satu sumber hukum tata pemerintahan faktual di Indonesia.

B.PEMBAHASAN
1.Yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan keputusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Selain itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan pengadilan.4
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah hukum atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Jadi yurisprudensi hanya mengikat orang-orang tertentu saja, namun putusan pengadilan adalah hukum sejak dijatuhkan. Pada umumnya dikenal adanya dua sistem peradilan, sistem Eropa Kontinental dan sistem Anglo Saxon. Dalam sistem eropa Kontinental, termasuk Indonesia, hakim tidak terikat pada “precedent” atau putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan yang akan diputuskan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat pada putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara serupa. Namun dalam sistem Anglo Saxon hakim terikat pada “precedent” atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Asas keterkaitan hakim pada “precedent” disebut “stare decisis et quieta non movere” atau disebut juga “the binding force of precedent”.

2.Kajian Yuridis Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum Tata Pemerintahan Faktual
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tingkat kasasi harus mampu menyelesaikan suatu perkara yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat, hukumnya tidak ada atau ketiadaan hukum, hukumnya tidak jelas mengaturnya. Apabila hakim Mahkamah Agung dalam perkara kasasi dihadapkan pada situasi ketiadaan hukum atau hukum yang tidak jelas, aturan hukum memuat rumusan yang sangat umum untuk kejadian yang tidak terbatas, sedangkan hakim dihadapkan pada kejadian yang spesifik dan individual, aturannya tidak jelas, terdapat beberapa peraturan yang mungkin dapat diterapkan pada sebuah kejadian, tidak terdapat satupun aturan yang dapat diterapkan. Seiring dengan permasalahan tersebut perkara harus diselesaikan, maka hakim wajib mencari kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga sebelum putusan Mahkamah Agung menjadi yurisprudensi, hakim memiliki kewajiban untuk menemukan hukum (rechtsvinding) atau membentuk hukum (rechtsvorming). Biasanya terdapat beberapa persoalan, yaitu: dalam menyikapi masalah tersebut hakim dapat menggunakan teknik penemuan hukum dengan metode interpretasi dan konstruksi hukum.
a.Penafsiran (Interpretasi). Metode interpretasi atau penafsiran yang paling dikenal dalam ilmu hukum, yaitu:5
1)Interpretasi Gramatikal atau Interpretasi bahasa, yaitu: kaidah hukum tertulis dipahami bertolak dari makna pemakaian bahasa sehari-hari atau makna yuridis yang sudah lazim
2)Interpretasi Sejarah, yaitu: Interpretasi berdasarkan pemeriksaan atau penelitian sejarah undang-undang atau hukum tertulis, misalnya: pada memori penjelasan dan risalah pembicaraaan pada komisi pembahasan pada badan perwakilan atau parlemen.
3)Interpretasi Sistematis, mencari makna dari sebuah kaidah dengan mangacu kepada hukum sebagai suatu sistem, khususnya tatanan perundang-undangan atau hubungnnya dengan kaidah-kaidah lain yang berkaitan
4)Interpretasi Teologis, Interpretasi ini mencari makna suatu kaidah dari tujuan dan asas yang melandasi kaidah hukum yang bersangkutan, kaidah hukum yang dilandasai oleh asas-asas dan tujuan tertentu, penerapan kaidah itu harus memenuhi tujuan itu
5)Interpretasi Otentik, yaitu undnag-undnag sendiri yang menafsirkan dalam ketentuan atau pasal undang-undang itu arti kata atau istilah yang digunakan, biasanya dimuat dalam pasal permulaan.
6)Interpretasi Interdisipliner, yaitu menafsirkan suatu ketentuan yang menggunakan logika menurut beberapa cabang ilmu hukum
7)Interpretasi Multidisipliner, yaitu menafsiran suatu ketentuan yang melakukan verifikasi dan bantuan dari cabang-cabang ilmu lain.
b.Konstruksi Hukum
Hakim dapat menyikapi persoalan ketiadaan peraturan perundang undangan yang dapat dijalankan untuk melakukan penyelesaian sengketa dengan melakukan konstruksi, ini penting untuk mengisi ruang kosong dalam sistem perundang undangan. Dengan konstruksi dapat ditautkan (naarelkaar toettrekken) sistem formal hukum dengan sistem materiil hukum. Konstruksi menurut Scholten harus dilakukan:
1)Tidak dengan sewenang wenang, artinya menggunakan bahan- bahan yang positif (constructie moet de positieve stof deken) yaitu sistem materiil undang undang yang berlaku, tidak boleh didasarkan kepada sistem di luar sistem materiil positif;
2)Harus menggunakan akal, artinya tidak menimbulkan pertentangan dalam sistem hukum formal yang bersangkutan, tidak boleh menjungkirbalikkan sistem hukum yang ada.
Dikenal tiga macam konstruksi yaitu: analogi, rechtsvervijning (penghalusan hukum) dan argumentum a contrario.
1)Analogi, yaitu hakim dalam lingkungan perkara yang dihadapi menggunakan anasir yang bersamaan dalam suatu perundang undang yang sebenarnya tidak ditujukan untuk itu, dengan kata lain penerapan sesuatu ketentuan hukum untuk keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur oleh ketentuan hukum
2)Rechtsvervijning (penghalusan hukum), pada dasarnya adalah kebalikan dari analogi. Hakim tidak menjalankan atau menerapkan hukum secara lain daripada ketentuan hukum yang ada, apabila penerapan peraturan itu mengakibatkan perkara tidak dapat diselesaikan secara adil atau sesuai dengan “werkelijkheid” sosial. Dengan kata lain, hakim mengeluarkan perkara dari lingkungan peraturan itu dan selanjutnya menyelesaikannya menurut peraturan lain.
3)Argumentum a contrario, pada pokoknya tidak terdapat perbedaan antara menjalankan undang undang secara analogi dengan Argumentum a contrario. Hanya hasil dari keduanya berbeda, analogi membagi hasil yang positif, sedang Argumentum a contrario membawa hasil yang negatif. Dikatakan negatif karena pengambilan keputusan dilakukan dengan cara terbalik, yaitu mengambil makna secara terbalik dari peraturannya.


Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum tata pemerintahan faktual, dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yurisprudensi memiliki fungsi, yaitu :6
a.Sumber hukum yang tepat dalam dunia peradilan
b.Sebagai standar yang sama dalam kasus syang sama dan belum tegas pengaturannya dalam undang-undang
c.Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standar yang sama
d.Mewujudkan rasa keadilan yang sesungguhnya yaitu rasa keadilan masyarakat
e.Mewujudkan kesamaan hukum dan sebagai standar perundang-undangan terhadap kasus yang sama
f.Mencegah terjadinya perbedaan (disparitas) putusan hakim pada kasus yang sama
Dalam sistem peradilan Indonesia, terdapat yurisprudensi yang memiliki peranan penting dalam hukum tata pemerintahan, yaitu yurisprudensi yang berkaitan dengan Asas-asas Hukum Pemerintahan Yang Baik. Yurisprudensi mengenai Asas-asas Hukum Pemerintahan Yang Baik ini sudah cukup lama diterapkan melalui mekanisme kelembagaan Mahkamah Agung.7 Ada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang dijadikan sumber hukum tata pemerintahan oleh pemerintah, hakim, dan lainnya, yaitu:

Putusan Mahkamah Agung No.42 K/Kr/1965 tertanggal 8 Januari 1966, yang menyebutkan bahwa “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya mendasarkan asas-asas keadilan dan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan bersifat umum. Dalam perkara ini misalnya terdapat faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung, sama hal nya dengan bidang pemerintahan maka dapat dikatakan bahwa dengan keputusan itu telah terpenui asas-asas umum pemerintahan yang baik atau dapat juga disebut sebagai telah memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sjahran Basah secara lebih konkrit memberikan beberapa contoh yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkenaan dengan penerapan asas-asas larangan detournement de pouvoir dan asas larangan wiilekeur atau larangan abuse de droit, yaitu:8
Putusan Mahkamah Agung No.503 k/Sip/1976 tertangggal 18 Mei 1977 dalam perkara antara Poltak Hutabarat (Penggugat) melawan N.V Good Yeara Sumatera Plantation Company Ltd (Tergugat I), George W. Lavinder (Tergugat II), Ruslan Nasution (Tergugat III), dan Pemerintah negara Republik Indonesia Cq.Kejaksaan Negeri di pematang Siantar (Tergugat IV), dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan bahwa “dalam hal adanya penyalahgunaan kekuasaan (abus de droit) atau melampaui batas kekuasaan (detuornement de pouvoir) keadaan mana (hal-hal tersebut) harus dibuktikan”. Selain itu Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1631/K/Sip/1974 tertanggal 5 November 1975 dalam perkara antara Soritoan Harahap (Penggugat) melawan Yayasan Perumahan Pulo Mas (Tergugat I), Pemerintah Republik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Tergugat II), yang dapat dikategorikan ke dalam adanya perbuatan administrasi Negara yang tidak sewenang-wenang atau melanggar asas larangan willekeur.
Lebih lanjut Sjahran Basah mengemukakan bahwa kedua asas yang telah dijadikan dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung diatas “asas larangan detournement of pouvoir” dan “asas larangan willekuer”, yang pada hakikatnya termasuk dalam algemene beginselen van behoorlijk bertuur atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yurisprudensi tersebut yang merupakan awal adanya penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang sampai sekarang yurisprudensi tersebut telah memberikan kontribusi bagi penyelenggaraaan pemerintahan sebagai salah satu sumber hukum tata pemerintahan faktual. Manfaat yurisprudensi yang berkaitan dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak meliputi, yaitu:
Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketantuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar, atau tidak jelas, selain itu sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen/ melakukan kebijakansanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian admnistrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultrasvires. Bagi warga masyarakat sebagai pencari keadilan AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bagi Hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara.

C.PENUTUP
Yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan sumber hukum tata pemerintahan faktual yang telah memberikan kontribusi bagi penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu sumber hukum yurisprudensi yang sekarang masih diterapkan adanya yurisprudensi mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik baik oleh hakim peradilan tata usaha negara sebagai landasan pengujian maupun oleh masyarakat sebagai landasan gugat.










DAFTAR PUSTAKA

Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.
Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) dilingkungan Peradilan administrasi di Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable Government”), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Lintong Oloan Siahaan, 2005, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi Indonesia: Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasa Warsa 1991-2001, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Muin Fahmal, 2006, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, UII Press,Yogyakarta.

SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
, 1997, Peradilan Adminisitrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
, 2001, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung.
Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
, 1997, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 1983, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan Sejak Tahun 1942, dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

, 1999, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Yuda Bakti Ardiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung.

KONSEKUENSI YURIDIS KETIDAKABSAHAN PERBUATAN APARAT PEMERINTAH MENURUT HUKUM TATA PEMERINTAHAN

A.PENDAHULUAN
Istilah pemerintah dan pemerintahan sering disepadankan dengan istilah asing administratie, administration, bestuur, regering, dan government, dalam bahasa Indonesia digunakan juga administrasi atau tata usaha negara, government (pemerintahan) berasal dari bahasa latin yaitu gobernaculum (kemudi),1namun secara umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai “pemerintah” yaitu lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara dan menjalankan kehendak rakyat.2 Dalam bahasa Inggris, government diartikan sebagai “the authoritative direction and administration of the affairs of men/ women in a nation, state, city, etc (pengarahan atau administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota dan sebagainya) atau “the governing body of nation, state, city, etc (lembaga/ badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, kota, dan sebagainya).3
Pengertian pemerintah ini secara teori dibedakan yaitu sebagai organisasi dan fungsi,4 menurut Prajudi Atmosudirdjo pengertian pemerintah dapat dipandang sebagai aparatur (mechinary) pemerintah dan sebagai salah satu fungsi dan proses penyelenggaraan tugas pemerintahan.5 Sementara fungsi pemerintah merupakan penyelenggara negara (het bestuuren, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas memerintah (bestuurs functie.6
Dalam kerangka bernegara, pemerintah diserahi fungsi untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg), diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul secara mendesak dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif.7
Fungsi pemerintah sebagai penyelenggara negara (het bestuuren, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas memerintah (bestuurs functie), sedangkan secara negatif arti pemerintah adalah fungsi negara yang bukan fungsi peradilan (rechtspraak) dan fungsi perundang-undangan (wetgeving), pemerintahan dalam arti luas (regering/ government) adalah pelaksanaaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga, dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara, dalam arti sempit (bestuurs/ government) dapat mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan.8
Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya terdapat berbagai macam perbuatan pemerintah yang berupa:9 keputusan-keputusan, ketetapan yang bersifat umum, perbuatan hukum perdata, perbuatan nyata, sedangkan tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara yaitu, menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Sebab jabatan pemerintah dilekati dengan hak dan kewajiban (wewenang) untuk melakukan perbuatan hukum, jabatan tidak hanya bertindak sendiri, jabatan adalah fiksi dan yang perbuatan hukumnya dilakukan melalui perwakilan (vertegenwoordiging), yaitu: pejabat (ambtdraer), pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan.
Pemerintah dalam menjalankan wewenangnya menggunakan berbagai instrumen yang disebut juga perbuatan pemerintah, perbuatan aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan terbagi kedalam dua golongan, yaitu: perbuatan pemerintah yang sah dan perbuatan pemerintah yang tidak sah. Dalam hukum tata pemerintahan, perbuatan aparat pemerintah tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis. Hal ini menarik untuk dikaji mengenai konsekuensi yuridis ketidakabsahan perbuatan aparat pemerintah menurut hukum tata pemerintahan ?

B.PEMBAHASAN
1.Perbuatan Aparat Pemerintah
E.Utrecht menggolongan perbuatan aparatur pemerintahan kepada dua golongan besar, yaitu golongan perbuatan hukum (rechthandelingen) dan golongan yang bukan perbuatan hukum atau perbuatan nyata (feitelijke handelingen). Perbuatan nyata adalah perbuatan yang tidak berakibat hukum, namun bagi aparatur pemerintah yang penting hanya golongan perbuatan hukum karena menimbulkan akibat hukum.10
Menurut Romeijn, perbuatan hukum adalah perbuatan atau perbuatan dari suatu alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan) yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum tata pemerintahan. Sementara Van Poelje mengemukakan bahwa perbuatan hukum adlaah perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemeirntahan.11
Sedangkan perbuatan hukum dalam hukum tata pemerintahan atau administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam hukum tata pemerintahan.12 Dasar perbuatan hukum ini mengandung beberapa unsur, yaitu: perbuatan dilakukan oleh suatu alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) atau penguasa (overheid); perbuatan dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan; berisi pernyataan kehendak dari organ administrasi; dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi.13Perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah dibedakan menjadi perbuatan hukum privat (privaatrechtelijke rechtshandelingen) dan perbuatan dalam hukum publik (publicrechtelijke rechthandelingen).14
Konijnebelt membedakan perbuatan hukum menjadi: perbuatan nyata (feitelijke handelingen) dan perbuatan hukum (rechtshandelingen). Perbuatan hukum dibedakan menjadi perbuatan hukum ekstern (eksterne rechtshandelingen) dan perbuatan hukum intern (interne rechtshandelingen) perbuatan hukum ekstern dibedakan menjadi perbuatan hukum ekstern menurut hukum publik (publiekrechterlijke eksterne rechtshandelingen) dan perbuatan hukum ekstern hukum privat (privatrechtlijkeeksterne rechtshandelingen) perbuatan ekstern hukum publik dibedakan menjadi perbuatan menurut hukum publik ekstern sepihak (eenzijdige publiekrechterlijke eksterne rechtshandelingen) dan menurut hukum publik ekstern banyak pihak (meerzijdige publiekrechterlijke eksterne rechtshandelingen).
Perbuatan hukum publik sepihak dibedakan lagi menjadi perbuatan hukum publik ekstern satu pihak yang bersifat umum (algemene) dan perbuatan hukum publik ekstern sepihak yang bersifat individual (individuele), perbuatan hukum publik satu pihak yang bersifat umum dibedakan menjadi bersifat abstrak (abstracte) dan bersifat konkrit (concrete), perbuatan hukum publik ekstern satun pihak yang individual (individuele) dibedakan menjadi bersifat abstrak (abstracte) dan bersifat konkrit (concrete).15
Muchsan16 menyebutkan unsur-unsur perbuatan hukum pemerintahan sebagai berikut:
a.Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurorganen) dengan prakarsa dan tanggungjawab sendiri.
b.Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan
c.Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi.
d.Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

2.Perbuatan Aparat Pemerintah Yang Tidak Sah
Suatu perbuatan pemerintah dianggap sah, bilamana dapat diterima sebagai sauatu bagian dari tertib hukum, sah itu tidak mengatakan sesuatu tentang isi atau kekurangan dalam suatu perbuatan pemerintah, malainkan hanya berarti diterima sebagai sesuatu yang berlaku pasti, diterima sebagai bagian dari tertib hukum umum, maka dari itu perbuatan pemeirntah tersebut mempunyai kekuatan hukum, yaitu dapat mempengaruhi tertib hukum itu.17
Perbuatan aparatur pemerintah dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan publik haruslah tetap berdasarkan hukum positif dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, juga harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum, perbuatan aparatur pemerintahan negara tersebut yang dimaksud terutama adalah sikap tindak administrasi negara dalam mengeluarkan ketetapan (beschikking).
Sehubungan dengan itu Sjahran Basah menyebutkan bahwa perbuatan aparatur yang melanggar hukum yaitu pelaksanaan yang salah, padahal hukumnya benar dan berharga, sedangkan perbuatan aparatur pemerintah yang menurut hukum, bukan pelaksanaanya yang salah melainkan hukum itu sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak berharga.
Perbuatan hukum aparat pemerintah yang tidak sah menurut hukum tata pemerintahan dapat disebabkan beberapa hal, seperti perbuatan aparat pemerintah yang membuat keputusan berdasarkan perbuatan yang sewenang-wenang, yaitu:18: perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige); perbuatan yang tidak tepat (onjuist); perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig); perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournement de pouviur).
Menurut Muchsan perbuatan penguasa yang sewenang-wenang dapat terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut19:
a.Penguasa yang berbuat secara yuridis memiliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya)
b.Dalam mempertimbangkan kepentingan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan
c.Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian kongrit bagi pihak tertentu.
Secara umum kelaziman perbuatan aparatur pemerintah yang dianggap tidak sah, menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan dalam 9 bentuk pelanggaran yaitu:20
a.Ketidakjujuran (dishonesty);
b.Berperilaku tidak etis (unetical behavior);
c.Mengesampingkan hukum (overidding the law);
d.Memperlakukan pegawai secara tidak patut (unfair treatment of employees);
e.Melanggar prosedur hukum (violations of procedural due process);
f.Tidak menjalin kerjasama yang baik dengan pihak legislatif (failure to respect legislative intent);
g.Pemborosan dalam penggunaan sumber daya (gressinefficency);
h.Menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan oleh aparatur (covering up mistakes);
i.Kegagalan untuk melakukan inisiatif dan terobosan yang positif (failure to show inisiative).




3.Konsekuensi Yuridis Ketidakabsahan Perbuatan Aparat Pemerintah
a.Batal Demi Hukum
Demi menjamin dan memberikan landasan hukum bahwa perbuatan pemerintahan (bestuurhendeling) yang dilakukan oleh pemerintah sebagai suatu perbuatan yang sah (legitimate dan justified), dapat dipertanggungjawabkan (accountable and responsible) dan bertanggung jawab (liable), maka setiap perbuatan pemerintahan itu harus berdasarkan atas hukum yang adil, bermartabat dan demokratis. Sehingga dalam pembuatan keputusan harus sah.
Suatu perbuatan aparatur pemerintah dalam bentuk keputusan dianggap batal demi hukum karena dalam pembuatan keputusan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat material maupun formal yang telah ditetapkan. Artinya perbuatan hukum dalam bentuk keputusan dikatakan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat-syarat dibawah ini: Syarat material meliputi:21
1)alat perlengkapan negara yang membuat keputusan harus alat kelengkapan negara yang berwenang;
2)dalam pembentukan kehendak alat perlengkapan negara yang membuat keputusan tidak ada kekurangan;
3)keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
4)keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lainnya, menurut isi dan tujuan sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar keputusan itu.
Syarat formal, yaitu:22
1)Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan;
2)Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya;
3)Syarat-syarat yang ditentukan berubung dengan dilakukannya atau dilaksanakannya terpenuhi;
4)Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkan tidak boleh dilewati

b.Dapat Dibatalkan
Dapat dibatalkan dalam arti bahwa perbuatan aparatur pemerintahan dalam bentuk keputusan tersebut secara hukum adalah sah karena memenuhi syarat-syarat material maupun formil. Keputusan aparatur pemerintah yang dapat dibatalkan biasanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang bersifat prosedural/formal dan bersifat materiil/substansial, maupun karena dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang (onbevoegheid) yang berkaitan dengan ratione materiae, ratione loci atau ratione temporis.23 atau dalam perbuatan keputusan dilakukan atas dasar penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), perbuatan sewenang-wenang (a bus de droit/ willikeur), melanggar kepastian hukum, melanggar asas kecermatan, bertentangan dengan asas persamaan, bertentangan dengan asas kepentingan umum, dan lainnya.
Misalnya keputusan yang bertentangan dengan indikator asas larangan dasar penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) meliputi, yaitu: 24
1)wewenang itu digunakan untuk tujuan lain selian untuk mana kewenangan itu diberikan;
2)wewenang itu diberikan untuk kepentingan umum yang lain dan pada kepentingan umum yang dimaksud undang-undang;
3)dari sudut etik pemerintahan, senantiasa dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak layak.
Keputusan aparatur pemerintahan bertentangan dengan indikator yang harus dipenuhi pada saat menerapkan asas kecermatan formal adalah:25
1)Suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat (penuh hati-hati).
2)Suatu keputusan harus diambil dengan tepat dan sesuai dengan sasaran/obyeknya.
3)Harus memperhatikan dan mendengar pihak-pihak yang berkepentingan terlebih dahulu, sebelum mereka dihadapkan pada suatu keputusan yang merugikan.
4)Semua fakta yang relevan ataupun semua kepentingan yang tersangkut, termasuk kepentingan pihak ketiga harus dipertimbangkan dalam keputusan.
5)Termasuk harus membuat berita acara atau laporan yang akurat sesuai dengan data-data yang diperoleh.
dan masih banyak lagi landasan hukum yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan upaya pembatalan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh aparatur pemeirntahan.
Pembatalan suatu keputusan aparatur pemerintahan dapat dilakukan di pengadilan tata usaha Negara (peradilan administrasi), sebab peradilan administrasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk good governance dalam mewujudkan negara hukum, yaitu sebagai lembaga kontrol atau pengawas terhadap perbuatan-perbuatan hukum pemerintah agar tetap berada pada jalur hukum di samping pelindung hak-hak warga masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang penguasa. Selain itu dalam perspektif historis, tujuan pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah: memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.26
Peradilan tata usaha negara dapat melakukan pengujian keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) dan ketepatgunaan (doelmatigheidstoetsing) suatu keputusan aparatur pemerintahan. Permasalahan ini muncul di Belanda, sehubungan dengan adanya sarana “rechtsbescherming”, yaitu gewone rechter, administratief beroep (banding administratif) dan administratief rechtpraak (peradilan administratif), pada prinsipnya peradilan yaitu gewone rechtspraak maupun administratief rechtspraak hanya mempunyai wewenang dan batas pengujian keabsahan sedangkan administratief beroep dapat melakukannya baik meliputi pengujian keabsahan maupun ketepatgunaaan, dalam perkembangan praktek peradilan, gewone rechtspraak menerapkan “marginal toetsing” dengan menilai perbuatan pemerintah berdasarkan asas-asas kepatutan yang lazim disebut “alemene beginselen van behoorlijk bestuur”.
Pengujian “ex tunc” dan pengujian “ex nunc”. Dasar pengujian “ex tunc”, berarti peradilan menilai suatu perbuatan pemerintah dengan memperhitungkan semua fakta perbuatan itu dilakukan, jadi atas suatu surat keputusan, fakta dan keadaan yang dinilai adalah fakta dan keadaan pada saat dikeluarkannya surat keputusan itu, perubahan fakta dan keadaan tidaklah masuk perhitungan dan penilaian peradilan, berbeda dengan pengujian “ex nunc”, perubahan fakta dan keadaan termasuk dalam penilaian suatu perbuatan. Pengujian “ex tunc” digunakan untuk pengujian keabsahan sedangkan pengujian “ex nunc” digunakan untuk pengujian ketepatgunaan, namun hendaknya dilihat secara relatif dan dikaitkan dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yang dicanangkan, yaitu tidak hanya fungsi peradilan administrasi, pengujian “ex nunc” perlu juga mendapat tempat dalam fungsi penasehatan, fungsi peradilan administrasi negara diterapkan pengujian “ex tunc” demi kepastian suatu perbuatan yang dibuat pada waktu lampau.
Pada prinsipnya peradilan tidak mencampuri keputusan aparatur pemerintahan dalam menjalankan fungsinya, jadi tidak mengukur perbuatan pemerintah yang berdasar kebijakan (op grond van beleidsmatigheid), namun hal itu hendaknya dilihat secara relatif dengan memperhatikan asas keserasian yang bertumpu atas dasar kerukunan perbuatan penguasa, maka perbuatan penguasa tidak hanya dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk tetapi juga dinilai berdasarkan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2007, Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan Yang Baik, Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik Bappenas, Jakarta.

Diana Halim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, Jawa Barat.

E. Utrecht dan Moh Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum Administrasi, Sinar Harapan dan Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta.

Felix A. Nigro dan Liod G.Nigro, 1973, Modern Public Administration, Harper and Row Publisher, United States.

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta.

Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Perbuatan Pemerintah, Alumni, Bandung.

Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kuntjoro Purbopranoto, 1995, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung.

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

--------, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Philipus M. Hadjon, 2002, Pengatar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta

Sedarmayanti, 2004, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), Buku Kedua “Membangun Sistem Manajeman Kinerja Guna Meningkatkan Produksifitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), CV. Mandar Maju, Bandung.

SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Soehino, 1984, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta.

W. Irawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, UAJY, Yogyakarta, 1996